Ini sebuah kisah dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah karangan Salim A
Fillah, ‘afwan ya lagi seneng banget posting dari buku DDU, soalnya
emang kata-kata beliau dalam buku ini bener bener ngena buat saya, hanya
sekedar berbagi dan mungkin mengingatkan. ^^
Yang punya bukunya mangga bisa diliat langsung di halaman 168, saya kutip full.. hehe :D
Yang ga punya bukunya, bisa dibaca dicatatan saya, selamat membacaaa ^^
Begini kisah yang beliau tuturkan
Seorang kawan bertanya dengan nada mengeluh
“Dimana
keadilan Allaah?”, ujarnya. Telah lama aku memohon dan meminta padaNya
satu hal saja. Kuiringi semua itu dengan segala ketaatan padaNya.
Kujauhi segala laranganNya. Kutegakkan yang wajib. Kutekuni yang sunnah.
Kutebarkan shadaqah. Aku berdiri di waktu malam. Aku bersujud dikala
Dhuha. Aku baca kalamNya. Aku upayakan sepenuh kemampuan mengikuti jejak
RasulNya. Tapi hingga kini Allaah belum mewujudkan harapanku itu sama
sekali.”
Saya menatap iba, lalu tertunduk sedih.
“Padahal,”
lanjutnya sambil kini berkaca-kaca, “Ada teman lain yang aku tahu
ibadahnya berantakan, wajibnya tak utuh. Sunnahnya tak tersentuh.
Akhlaknya kacau. Otaknya kotor. Bicaranya kotor. Tapi begitu dia berkata
bahwa dia menginginkan sesuatu, hai berikutnya segalanya telah terjadi.
Semua yang dia minta didapatkannya. Dimana keadilan Allaah?”
Rasanya
saya punya banyak kata-kata untuk menghakiminya. Saya bisa saja
mengatakan, “Kamu sombong. Kamu bangga diri dengan ibadahmu. Kamu
menganggap hina orang lain. Kamu tertipu oleh kebaikanmu sebagaimana
Iblis telah terlena! Jangan heran kalau do’amu tidak diijabah.
Kesombonganmu telah menghapus segala kebaikan. Nilai dirimu hanya
anai-anai berterbangan. Mungkin kawan yang kau rendahkan jauh lebih
tinggi kedudukannya disisi Allaah karena dia merahasiakan amal
shalihnya!”
Tapi saya sadar. Ini ujian dalam
dekapan ukhuwah. Maka saya memilih sudut pandang lain yang saya harap
lebih bermaknabaginya daripada sekedar terinsyafkan sekaligus terluka.
Saya khawatir, luka akan bertahan jauh lebih lama daripada kesadarannya.
Maka saya katakan padanya, “Pernahkah engkau didatangi pengamen?”
“Maksudmu?”
“Ya, pengamen,” lanjut saya seiring senyum. “Pernah?”
“Iya, pernah.” Wjahnya serius. Matanya menatap saya lekat-lekat
“Bayangkan
jika pengamennya adalah seorang yang berpenampilan seram, bertato,
bertindik, dan wajahnya garang mengerikan. Nyanyiannya lebih mirip
teriakan yang memekakkan telinga. Suaranya kacau, balau, sengau, parau,
sumbang, dan cemprang. Lagunya malah menyakitkan ulu hati, sama sekali
tak dapat dinikmati. Apa yang akan kau lakukan?”
“Segera kuberi uang”, jawabnya, “Agar segera berhenti menyanyi dan cepat-cepat pergi.”
“Lalu
bagaimana jika pengamen itu bersuara emas, mirip sempurna dengan Ebiet
G. Ade atau Sam Bimbo yang kau suka, menyanyi dengan sopan dan
penampilannya rapi lagi wangi, apa yang akan kau lakukan?”
“Kudengarkan,
kunikmati hingga akhir lagu,” dia menjawab sambil memejamkan mata,
mungkin membayangkan kemerduan yang dicanduinya itu.
“Lalu kuminta ia menyanyikan lagu yang lain lagi. Tambah lagi. Dan lagi.”
Saya tertawa.
Dia tertawa.
“Kau
mengerti kan?” tanya saya. “Bisa saja Allaah belaku begitu pada kita,
para hambaNya. Jika ada manusia yang fasik, keji, munkar, banyak dosa,
dan dibenciNya berd’a memohon padaNya, mungkin akan Dia firmankan pada
malaikat: ‘Cepat berikan apa yang dia minta. Aku muak mendengar
ocehannya. Aku benci menyimak suaranya. Aku risi mendengar pintanya.’”
“Tapi,” saya melanjutkab sambil memastikan dia mencerna setiap
kata, “Bila yang menadahkan tangan adalah hamba yang dicintaiNya, yang
giat beribadah, yang rajin bersedekah, yang menyempurnakan wajib dan
menegakkan sunnah, maka mungkin saja Allaah akan berfirman pada
malaikatNya: ‘Tunggu! Tunda dulu apa yang menjadi hajatnya. Sunggug Aku
bahagia bila diminta. Dan biarlah hambaKu ini terus meminta, terus
berdo’a, terus mengiba. Aku menyukai do’a-do’anya. Aku menyukai
kata-kata dan tangis isaknya. Aku menyukai khusu’ dan tunduknya. Aku
menyukai puja dan puji yang dilantunkannya. Aku tak ingin dia menjauh
dariKu setelah mendapat apa yang dia pinta. Aku mencintainya.’”
“Oh ya?” matanya berbinar. “Betul demikiankah yang terjadi padaku?”
“Hmm..
Pastinya aku tak tahu,” jawab saya sambil tersenyum. Dia agak terkejut.
Segera saya sambung sambil menepuk pundaknya. “Aku hanya ingin kau
berbaik sangka.”
Dan dia tersenyum. Alhamdulillaah
Nah sahabat, sudah dibaca sampai beres?? Kalau belum mengerti silahkan baca lagi sampai mengerti. Hehe..
Hikmahnya apa cobaaa??
Yup,
mari kita berbaik sangka, berhusnudzan pada Allaah.. mungkin Allaah
belum mengabulkan do’a kita karena Allaah senang dengan usaha kita agar
Allaah mengabulkan pinta kita, atau mungkin Allaah ingin kita lebih
berusaha keras untuk mendapat cinta Allaah sebelum pinta kita
dikabulkan.
Dan pengingat juga bagi kita (terutama saya)
jangan merasa berbangga diri jika pintanya sudah dikabulkan, karena bisa
jadi posisi kita saat dikabulkan doa adalah saat posisi kita seperti
pengamen yang suaranya sumbang dan berpenampilan berantakkan.
Intinya,
baik kita yang belum dikabulkannya do’a ataupun sudah dikabulkannya
do’a, yuuk sama-sama memperbaiki diri untuk menjadi seorang muslim
sejati yang berusaha meraih cinta Allaah dan ayoo kita berhusnudzan pada
takdir kita sekarang, yakin bahwa ini adalah rencana Allaah yang
terbaik untuk kita jalani. Pasti ada hikmah yang Allaah ingin tunjukkan
pada kita, agar kita bisa lebih dekat denganNya.
Jangan
pernah berbikir apa yang kita alami itu sia-sia. Yang menjadi sia-sia
adalah ketika kita tak berusaha untuk mengambil hikmah disetiap kejadian
yang kita alami. Ya, semua itu pasti ada hikmahnya ^^
Ohiya satu lagiii.. ingat ayat ini??
"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu."
(Q.S. Muhammad:7)
kalau kata Tere Liye mah:
"Cukup
percaya dengan dengan satu janjiNya, maka kehidupan di dunia ini akan
terasa jauh lebih lebih indah. Semua akan terasa jauh lebih indah
yakinlah!"
Semangat temaan-teman, Semangat untuk
husnudzan, Semangat untuk memperbaiki diri, Semangat menggapai cita,
Semangat Lillaah ^o^//
Sumber kisah ^^:
A. Fillaah, Salim. 2010. Dalam Dekapan Ukhuwah. Yogyakarta: Pro-U Media