aida mau share sebuah kisah inspiratif~ :D
selamat membaca ^^
Kisah dibawah ini merupakan salah satu dari banyaknya kisah yang terdapat dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah karya Salim A Fillah, mangga dibaca, semoga dapat membuat kita semakin menyadari arti saudara seiman ^^
selamat membaca ^^
Kisah dibawah ini merupakan salah satu dari banyaknya kisah yang terdapat dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah karya Salim A Fillah, mangga dibaca, semoga dapat membuat kita semakin menyadari arti saudara seiman ^^
Suatu hari Umar bin khattab sedang
duduk di bawah sebatang pohon kurma. Surbannya di lepas, menampakkan kepala
yang rambutnya mulai teripis di beberapa bagian. Di atas kerikil ia duduk,
dengan cemeti umatar nya tergeletak di samping tumpuan lengan. Di hadapannya
para pemuka shahabat bertukar pikiran dan membahas berbagai persoalan. Ada anak
muda yang tampak menonjol di situ. Abdullah ibn Abbas. Berulang kali Umar
memintanya berbicara.
Jika perbedaan wujud, Umar hampir
selalu bersetuju dengan Ibnu Abbas. Ada juga Salman Al-Farisi yang tekum
menyimak. Ada juga Abu Dzar Al-Ghifari yang sesekali bicara berapi-api.
Pembicaraan mereka segera terjeda.
Dua orang pemuda berwajah mirip datang dengan mengapit pria belia lain yang
mereka cekal lengannya. “Wahai Amirul Mukminin,” Ujar salah satu berseru-seru,
“Tegakkanlah hukun ALLAH atas pembunuhan ayah kami ini!”
Umar bangkit. “Takutlah kalian
kepada ALLAH!” hardiknya, “Perkara apakah ini?”
kedua pemuda itu menegaskan bahwa
pria belia yang mereka bawa ni adalah pembunuh ayah mereka. Mereka siap
mendatangkan saksi dan bahkan menyatakan bahwa si pelaku ini telah mangaku.
Umar bertanya kepada sang tertuduh. “Benarkah yang mereka dakwakan kepadamu
ini?”
“Benar wahai Amirul Mukminin!”
“Engkau tidak menyangkal dan di
wajahmu kulihat ada sesal!” ujar Umar menyelidik dengan teliti. “Ceritakanlah
kejadiannya!”
“Aku datang dari negeri yang jauh”
kata belia itu. “Begitu sampai di Kota ini ku tambatkan kudaku di sebuah pohon
dekat kebunmilik keluarga mereka. Ku tinggalkan ia sejenak untuk mengurus
suatuhajat tanpa aku tahu ternyata kudaku mulai memakan sebagian tanaman yang
ada di kebun mereka.”
“Saat aku kembali,” lanjutnya
sembari menghela nafas, “Kulihat seorang lelaki tua yang kemudian aku tahu
adalah ayah dari kedua pemuda ini sedang memukul kepala kudaku dengan batu
hingga hewan malang itu tewas menggenaskan. Melihat kejadian itu, aku di bakar
amarah dan kuhunus pedang. Aku khilaf, aku telah membunuh lelaki tua itu. Aku
memohon ampun kepada ALLAH karenanya”
Umar tecenung.
“Wahai Amirul mukminin,” kata salah
satu dari kedua kakak beradik itu, “Tegakkanlah hukum ALLAH. Kami meminta
qishash atas orang ini. Jiwa dibayar dengan jiwa.”
Umar melihat pada belia tertuduh
itu. Usianya masih sangat muda. Pantas saja dia mudah dibakar hawa amarah. Tapi
sangat jelas bahwa wajahnya teduh. Akhlaknya santun. gurat-gurat sesal tampak
jelas membayang di air mukanya. Umar iba dan merasa alangkah sia-sianya
jika anak muda penuh adab dan berhati lembut ini harus mati begitu pagi.
“Bersediakah kalian,” ucap Umar ke
arah dua pemuda penuntut Qishash, “Menerima pembayaran diyat dariku atas nama
pemuda ini dan memaafkan nya?”
Kedua pemuda itu saling
pandang,”Demi ALLAH, hai Amirul mukminin” jawab mereka, “Sungguh kami sangat
mencintai ayah kami. dia telah membesarkan kami dengan penuh cinta.
keberadaannya di tengah kami takkan terbayar dan terganti dengan diyat sebesar
apapun. Lagipula kami bukanlah orang miskinyang menghajatkan harta. Hati
kami baru akan tenteram jika Had di tegakkan!”
Umar terhenyak. “Bagaimana
menurutmu?” tanyanya pada sang terdakwa.
“Aku ridha hukum ALLAH di tegakkan
atasku, wahai Amirul Mukminin” kata si belia dengan yakin. “Namun ada yang
menghalangiku untuk sementara ini. Ada amanah dari kaumku atas beberapa benda
maupun perkara yang harus aku sampaikan kembali pada mereka. demikian juga
keluargaku. aku bekerja untuk menafkahi mereka. Hasil Jerih payah di perjalanan
terakhirku ini harus aku serahkan pada mereka sembari berpamitan memohon ridha
dan keampunan ayah ibuku”
Umar terhenyuh. Tak ada jalan lain.
hudud harus di tegakkan. Tetapi pemuda itu juga memiliki amanah yang harus di
tunaikan. “Jadi bagaimana?” tanya Umar.
“Jika engkau mengijinkanku, wahai
Amirul Mukminin, aku minta waktu tiga hari untuk kembali ke daerah asalku guna
menunaikan segala amanah itu. Demi ALLAH, aku pasti kembali di hari ketiga
untuk menetapi hukumanku. Saat itu tegakkanlah had untukku tanpa ragu, wahai
putra Al-Khattab”
“Adakah orang yang isa menjaminmu?”
“Aku tidak memiliki seorangpun yang
kukenal di kota ini hingga dia bisa kuminta menjadi penjamin ku. Aku tak
memiliki seorangpun penjamin kecuali ALLAH yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.”
“Tidak! Demi ALLAH, tetap harus ada
seseorang yang menjaminmu atau aku tak bisa mengizinkanmu pergi.”
“Aku bersumpah dengan nama ALLAH
yang amat keras azabnya. Aku takkan menyalahi janjiku.”
“Aku percaya, tapi tetap harus ada
manusia yang menjaminmu!”
“Aku tak punya!”
“Wahai Amirul Mukminin!” terdengar
sebuah suara yang berat dan berwibawa menyela. “Jadikan aku sebagai penjamin
anak muda ini dan biarkanlah ia menunaikan amanahnya!” inilah dia, Salman Al
Farisi yang tampil mengajukan diri.
“Engkau hai Salman, bersedia
menjamin anak muda ini?”
“Benar. Aku bersedia!”
“Kalian berdua kakak beradik yang
mengajukan gugatan,”panggil Umar, “Apakah kalian bersedia menerima penjaminan
dari Salman Al Farisi atas orang yang telah membunuh ayah kalian ini? Adapun
Salman demi ALLAH, aku bersaksi tentang dirinya bahwa dia lelaki ksatria yang
jujur dan tak sudi berkhianat”
Kedua pemuda itu saling pandang.
“Kami menerima,” kata mereka nyaris serentak.
—————————————————————-
Waktu tiga hari yang disediakan
untuk sang terhukum nyaris habis. Umar gelisah tak karuan. Dia mondar mandir
sementara Salman duduk khusu’ di dekatnya. Salman tampak begitu tenang padahal
jiwanya di ujung tanduk. Andai lelaki pembunuh itu tak datang memenuhi janji,
maka dirinyalah selaku penjamin yang akan menggantikan tempat sang terpidana
untuk menerima qishash.
Waktu terus merambat. Belia itu
masih belum muncul.
Kota Madinah mulai terasa kelabu.
Para shahabat berkumpul mendatangi Umar dan Salman. Demi ALLAH, mereka
keberatan jika Salman harus di bunuh sebagai badal. Mereka sungguh tak
ingin kehilangan sahabat yang pengorbanannya untuk islam begitu besar itu.
Salman seorang sahabat yang tulus dan rendah hati. Dia di hormati. Dia
dicintai.
Satu demi satu, dimulai dari Abi
Darda’, beberapa shahabat mengajukan diri sebagai pengganti Salman jika hukuman
benar-benar dijatuhkan padanya. Tetapi Salma menolak. Umar juga menggeleng.
Matahari semakin langsir ke Barat.
Kekhawatiran Umar makin memuncak. Para shahabat makin kelut dan sedih. Hanya
beberapa saat menjelang habisnya batas waktu, tampak seseorang datang dengan
berlari tertatih dan terseok. Dia pemuda itu, sang terpidana.
“Maafkan aku,” ujarnya dengan senyum
tulus sembari menyeka keringat yang membasahi sekujur wajah, urusan dengan
kaumku itu ternyata berbelit dan rumit sementara untaku tak sempat istirahat.
Ia kelelahan nyaris sekarat dan terpaksa kutinggal di tengah jalan. aku harus
berlari-leri untuk sampai kemari sehingga nyaris terlambat.”
Semua yang melihat wajah dan
penampilan pemuda ini merasakan satu sergapan iba. semua yang mendengar
penuturannya merasakan keharuan yang mendesak-desak. Semua tiba-tiba merasa tak
rela jika sang pemuda harus berakhir hidupnya di hari itu.
“Pemuda yang jujur” ujar Umar
denganmata berkaca-kaca, “Mengapa kau datang kambali padahal bagimu ada
kesempatan untuk lari dan tak harus mati menanggung qishash?”
“Sungguh jangan sampai orang
mengatakan,” kata pemuda itu sambil tersenyum ikhlas, “Tak ada lagi orang yang
tepat janji. dan jangan sampai ada yang mengatakan, tak ada lagi kejujuran hati
di kalangan kaum muslimin”
“Dan kau Salman,” kata Umar
bergetar, “Untuk apa kau susah-susah menjadikan dirimu penanggung kesalahan
dari orang yang tak kau kenal sama sekali? Bagaimana kau bisa mempercayainya?”
“Sungguh jangan sampai orang
bicara,” ujar Salman dengan wajah teguh, “Bahwa tak ada lagi orang yang
mau saling membagi beban dengan saudaranya. Atau jangan sampai adayang merasa,
tak ada lagi saling percaya di antara orang-orang Muslim.”
“ALLAHU AKBAR!” kata Umar, “Segala
puji bagi ALLAH. kalian telah membesarkan hati ummat ini dengan kemuliaan sikap
dan agungnya iman kalian. Tetapi bagaimanapun wahai pemuda, had untukmu harus
kami tegakkan!”
Pemuda itu mengangguk Pasrah.
“Kami memutuskan…” Kata kakak
beradik penggugat tiba-tiba menyeruak, “Untuk memaafkannya.” mereka tersedu
sedan.
“Kami melihatnya sebagai seorang
yang berbudi dan tepat janji. Demi ALLAH, pasti benar-benar sebuah kekhilafan
yang tak disengaja jika dia sampai membunuh ayah kami. Dia telah menyesal dan
beristighfar kepada ALLAH atas dosanya. Kami memaafkannya. Janganlah
menghukumnya, wahai Amirul Mukminin”
“Ahamdulillah!, Alhamdulillah!” ujar
Umar. Pemuda terhukum itu sujud syukur. Salman tak ketinggalan menyungkurkan
wajahnya ke arah kiblat mengagungkan Asma ALLAH, yang kemudia bahkan diikuti
oleh semua hadirin.
“Mengapa kalian tiba-tiba berubah
pikiran?” tanya Umar pada kadua ahli waris korban.
“Agar jangan sampai ada yang
mengatakan,” jawab mereka masih terharu, “Bahwa di kalangan kaum muslimin tak
ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati dan kasih sayang”
Sumber: Dalam Dekapan Ukhuwah -
Salim A Fillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar